Latest News

Showing posts with label Manajemen Organisasi. Show all posts
Showing posts with label Manajemen Organisasi. Show all posts

Sunday, June 10, 2012

Budaya Organisasi

Sebagian para ahli seperti Stephen P. Robbins, Gary Dessler (1992) dalam bukunya yang berjudul �Organizational Theory� (1990), memasukan budaya organisasi kedalam teori organisasi. Sementara Budaya perusahaan merupakan aplikasi dari budaya organisasi dan apabila diterapkan dilingkungan manajemen akan melahirkan budaya manajemen. Budaya organisasi dengan budaya perusahan sering disalingtukarkan sehingga terkadang dianggap sama, padahal berbeda dalam penerapannya.

Kita tinjau Pengertian budaya itu sendiri menurut : �The International Encyclopedia of the Social Science� (1972) dpat dilihat menurut dua pendekatan yaitu pendekatan proses (process-pattern theory, culture pattern as basic) didukung oleh Franz Boas (1858-1942) dan Alfred Louis Kroeber (1876-1960).

Bisa juga melalui pendekatan structural-fungsional (structural-functional theory, social structure as abasic) yang dikembangkan oleh Bonislaw Mallllinowski (1884-1942) dan Radclife-Brown yang kemudians dari dua pendekatan itu Edward Burnett Tylor (1832-1917 secara luas mendefinisikan budaya sebagai :��culture or civilization, taken in its wide ethnographic ense, is that complex whole wich includes knowledge,belief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a memmmber of society� atau Budaya juga dapat diartikan sebagai : �Seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya melalui proses belajar(Koentjaraningrat, 2001: 72) sesuai dengan kekhasan etnik, profesi dan kedaerahan�(Danim, 2003:148).

Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita lebih memahami budaya dari sudut sosiologi dan ilmu budaya, padahal ternyata ilmu budaya bisa mempengaruhi terhadap perkembangan ilmu lainnya seperti ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Sehingga ada beberapa istilah lain dari istilah budaya seperti budaya organisasi (organization culture) atau budaya kerja (work culture) ataupun biasa lebih dikenal lebih spesifik lagi dengan istilah budaya perusahaan (corporate culture). Sedangkan dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah kultur pembelajaran sekolah (school learning culture) atau Kultur akademis (Academic culture)

Dalam dunia pendidikan mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah Kultur akademis yang pada intinya mengatur para pendidik agar mereka memahami bagaimana seharusnya bersikap terhadap profesinya, beradaptasi terhadap rekan kerja dan lingkungan kerjanya serta berlaku reaktif terhadap kebijakan pimpinannya, sehingga terbentuklah sebuah sistem nilai, kebiasaan (habits), citra akademis, ethos kerja yang terinternalisasikan dalam kehidupannya sehingga mendorong adanya apresiasi dirinya terhadap peningkatan prestasi kerja baik terbentuk oleh lingkungan organisasi itu sendiri maupun dikuatkan secara organisatoris oleh pimpinan akademis yang mengeluarkan sebuah kebijakan yang diterima ketika seseorang masuk organisasi tersebut.

Fungsi pimpinan sebagai pembentuk Kultur akademis diungkapkan oleh Peter, Dobin dan Johnson (1996) bahwa :
Para pimpinan sekolah khususnya dalam kapasitasnya menjalankan fungsinya sangat berperan penting dalam dua hal yaitu : a)Mengkonsepsitualisasikan visi dan perubahan dan b)Memiliki pengetahuan, keterampilan dan pemahaman untuk mengtransformasikan visi menjadi etos dan kultur akademis kedalam aksi riil (Danim, Ibid., P.74).

Jadi terbentuknya Kultur akademis bisa dicapai melalui proses tranformasi dan perubahan tersebut sebagai metamorfosis institusi akademis menuju kultur akademis yang ideal. Budaya itu sendiri masuk dan terbentuk dalam pribadi seorang dosen itu melalui adanya adaptasi dengan lingkungan, pembiasaan tatanan yang sudah ada dalam etika pendidikan ataupun dengan membawa sistem nilai sebelumnya yang kemudian masuk dan diterima oleh institusi tersebut yang akhirnya terbentuklah sebuah budaya akademis dalam sebuah organisasi.

Pola pembiasaan dalam sebuah budaya sebagai sebuah nilai yang diakuinya bisa membentuk sebuah pola prilaku dalam hal ini Ferdinand Tonnies membagi kebiasaan kedalam beberapa pengertian antara lain :
a) Kebiasaan sebagai suatu kenyataan objektif sehari-hari yang merupakan sebuah kelajiman baik dalam sikap maupun dalam penampilan sehari-hari. Seorang pendidik sebagai profesionalis biasa berpenampilan rapi, berdasi dan berkemeja dan bersikap formal, sangat lain dengan melihat penampilan dosen institut seni yang melawan patokan formal yang berlaku didunia pendidikan dengan berpakaian kaos dan berambut panjang.
b) Kebiasaan sebagai Kaidah yang diciptakan dirinya sendiri yaitu kebiasaan yang lahir dari diri pendidik itu sendiri yang kemudian menjadi ciri khas yang membedakan dengan yang lainnya.
c) Kebiasaan sebagai perwujudan kemauan untuk berbuat sesuatu yaitu kebiasaan yang lahir dari motivasi dan inisatif yang mencerminkan adanya prestasi pribadi.
(Soekanto, loc.cit, P. 174)

Pengertian budaya yang penulis teliti lebih banyak berhubungan dengan kepribadian dan sikap dosen dalam menyikapi pekerjaannya (profesionality), rekan kerjanya, kepemimpinan dan peningkatan karakter internal (maturity character) terhadap lembaganya baik dilihat dari sudut psikologis maupun sudut biologis seseorang. Dimana budaya akademis secara aplikatif dapat dilihat ketika para anggota civitas akademika sudah mempraktikan seluruh nilai dan sistem yang berlaku di perguruan tinggi dalam pribadinya secara konsisten.

Budaya dan kepribadian
Oleh karena budaya secara individu itu berkorelasi dengan kepribadian, sehingga budaya berhubungan dengan pola prilaku seseorang ketika berhadapan dengan sebuah masalah hidup dan sikap terhadap pekerjaanya. Didalamnya ada sikap reaktif seorang pendidik terhadap perubahan kebijakan pemerintah dalam otonomi kampus sebagaimana yang terjadi, dimana dengan adanya komersialisasi kampus bisakah berpengaruh terhadap perubahan kultur akademis penididik dalam sehari-harinya.

Dilihat dari unsur perbedaan budaya juga menyangkut ciri khas yang membedakan antara individu yang satu dengan individu yang lain ataupun yang membedakaan antara profesi yang satu dengan profesi yang lain. Seperti perbedaan budaya seorang dokter dengan seorang dosen, seorang akuntan dengan seorang spesialis, seorang professional dengan seorang amatiran.

Ciri khas ini bisa diambil dari hasil internalisasi individu dalam organisasi ataupun juga sebagai hasil adopsi dari organisasi yang mempengaruhi pencitraan sehingga dianggap sebagai kultur sendiri yang ternyata pengertiannya masih relatif dan bersifat abstrak. Kita lihat pengertian budaya yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Soerjono Soekanto mendefinisikan budaya sebagai : �Sebuah system nilai yang dianut seseorang pendukung budaya tersebut yang mencakup konsepsi abstrak tentang baik dan buruk. atau secara institusi nilai yang dianut oleh suatu organisasi yang diadopsi dari organisasi lain baik melalui reinventing maupun re-organizing� (Ibid, Soerjono Soekanto, P. 174)

Budaya juga tercipta karena adanya adopsi dari organisasi lainnya baik nilai, jargon, visi dan misi maupun pola hidup dan citra organisasi yang dimanefestasikan oleh anggotanya. Seorang pendidik sebagai pelaku organisasi jelas berperan sangat penting dalam pencitraan kampus jauh lebih cepat karena secara langsung berhadapan dengan mahasiswa yang bertindak sebagai promotor pencitraan di masyarakat sementara nilai pencitraan sebuah organisasi diambil melalui adanya pembaharuan maupun pola reduksi langsung dari organisasi sejenis yang berpengaruh dalam dunia pendidikan.

Sebuah nilai budaya yang merupakan sebuah sistem bisa menjadi sebuah asumsi dasar sebuah organisasi untuk bergerak didalam meningkatkan sebuah kinerjanya yang salah satunya terbentuknya budaya yang kuat yang bisa mempengaruhi. McKenna dan Beech berpendapat bahwa : �Budaya yang kuat mendasari aspek kunci pelaksaan fungsi organisasi dalam hal efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi yang tepat untuk membiasakan mereka terhadap kejadian-kejadian, karena etos yang berlaku mengakomodasikan ketahanan� (McKenna, etal, Terj. Toto Budi Santoso , 2002: 19)

Sedang menurut Talizuduhu Ndraha mengungkapkan bahwa �Budaya kuat juga bisa dimaknakan sebagai budaya yang dipegang secara intensif, secara luas dianut dan semakin jelas disosialisasikan dan diwariskan dan berpengaruh terhadap lingkungan dan prilaku manusia� (Ndraha, 2003:123).

Budaya yang kuat akan mendukung terciptanya sebuah prestasi yang positif bagi anggotanya dalam hal ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan akan berpengaruh terhadap sistem prilaku para pendidik dan staf dibawahnya baik didalam organisasi maupun diluar organisasi.

Sekali lagi kalau Budaya hanya sebuah asumsi penting yang terkadang jarang diungkapkan secara resmi tetapi sudah teradopsi dari masukan internal anggota organisasi lainnya. Vijay Sathe mendefinisikan budaya sebagai �The sets of important assumption (opten unstated) that member of a community share in common� (Sathe, 1985: 18) Begitu juga budaya sebagai sebuah asumsi dasar dalam pembentukan karakter individu baik dalam beradaptasi keluar maupun berintegrasi kedalam organisasi lebih luas diungkapkan oleh Edgar H. Schein bahwa budaya bisa didefinisikan sebagai :
�A pattern of share basic assumption that the group learner as it solved its problems of external adaptation anda internal integration, that has worked well enough to be considered valid and therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to these problems�.
(Schein, 1992:16)

Secara lengkap Budaya bisa merupakan nilai, konsep, kebiasaan, perasaan yang diambil dari asumsi dasar sebuah organiasasi yang kemudian diinternalisasikan oleh anggotanya. Bisa berupa prilaku langsung apabila menghadapi permasalahan maupun berupa karakter khas yang merupakan sebuah citra akademik yang bisa mendukung rasa bangga terhadap profesi dirinya sebagai dosen, perasaan memiliki dan ikut menerapkan seluruh kebijakan pimpinan dalam pola komunikasi dengan lingkungannya internal dan eksternal belajar. Lingkungan pembelajaran itu sendiri mendukung terhadap pencitraan diluar organisasi, sehingga dapat terlihat sebuah budaya akan mempengaruhi terhadap maju mundurnya sebuah organisasi. Seorang professional yang berkarakter dan kuat kulturnya akan meningkatkan kinerjanya dalam organisasi dan secara sekaligus meningkatkan citra dirinya.

Organisasi dan budaya
Membahas budaya, jelas tidak bisa lepas dari pengertian organisasi itu sendiri dan dapat kita lihat beberapa pendapat tentang organisasi yang salah satunya diungkapkan Stephen P. Robbins yang mendefinisikan organisasi sebagai ��A consciously coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary that function or relatively continous basis to achieve a common goal or set of goal�. (Robbins, 1990: 4) Sedangkan Waren B. Brown dan Dennis J. Moberg mendefinisikan organisasi sebagai ��. A relatively permanent social entities characterized by goal oriented behavior, specialization and structure� (Brown,etal,1980:6) Begitu juga pendapat dari Chester I. Bernard dari kutipan Etzioni dimana organisasi diartikan sebagai �Cooperation of two or more persons, a system of conciously coordinated personell activities or forces� (Etzioni, 1961:14.)

Sehingga organisasi diatas pada dasarnya apabila dilihat dari bentuknya, organisasi merupakan sebuah masukan (input) dan luaran (output) serta bisa juga dilihat sebagai living organism yang memiliki tubuh dan kepribadian, sehingga terkadang sebuah organisasi bisa dalam kondisi sakit (when an organization gets sick). Sehingga organisasi dianggap Sebagai suatu output (luaran) memiliki sebuah struktur (aspek anatomic), pola kehidupan (aspek fisiologis) dan system budaya (aspek kultur) yang berlaku dan ditaati oleh anggotanya.

Dari pengertian Organisasi sebagai output (luaran) inilah melahirkan istilah budaya organisasi atau budaya kerja ataupun lebih dikenal didunia pendidikan sebagai budaya akademis. Untuk lebih menyesuaikan dengan spesifikasi penelitian penulis mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah budaya akademis.

Menurut Umar Nimran mendefinisikan budaya organisasi sebagai �Suatu sistem makna yang dimiliki bersama oleh suatu organisasi yang membedakannya dengan organisasi lain� (Umar Nimran, 1996: 11)

Sedangkan Griffin dan Ebbert (Ibid, 1996:11) dari kutipan Umar Nimran Budaya organisasi atau bisa diartikan sebagai �Pengalaman, sejarah, keyakinan dan norma-norma bersama yang menjadi ciri perusahaan/organisasi� Sementara Taliziduhu Ndraha Mengartikan Budaya organisasi sebagai �Potret atau rekaman hasil proses budaya yang berlangsung dalam suatu organisasi atau perusahaan pada saat ini�( op.cit , Ndraha, P. 102) Lebih luas lagi definisi yang diungkapkan oleh Piti Sithi-Amnuai (1989) dalam bukunya �How to built a corporate culture� mengartikan budaya organisasi sebagai :
A set of basic assumption and beliefs that are shared by members of an organization, being developed as they learn to cope with problems of external adaptation and internal integration. (Pithi Amnuai dari kutipan Ndraha, p.102)
(Seperangkat asumsi dan keyakinan dasar yang dterima anggota dari sebuah organisasi yang dikembangkan melalui proses belajar dari masalah penyesuaian dari luar dan integarasi dari dalam)

Hal yang sama diungkapkan oleh Edgar H. Schein (1992) dalam bukunya �Organizational Culture and Leadershif� mangartikan budaya organisasi lebih luas sebagai :
� �A patern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to these problems. (loc.cit, Schein, P.16)

(�� Suatu pola sumsi dasar yang ditemukan, digali dan dikembangkan oleh sekelompok orang sebagai pengalaman memecahkan permasalahan, penyesuaian terhadap faktor ekstern maupun integrasi intern yang berjalan dengan penuh makna, sehingga perlu untuk diajarkan kepada para anggota baru agar mereka mempunyai persepsi, pemikiran maupun perasaan yang tepat dalam mengahdapi problema organisasi tersebut).

Sedangkan menurut Moorhead dan Griffin (1992) budaya organisasi diartikan sebagai :
Seperangkat nilai yang diterima selalu benar, yang membantu seseorang dalam organisasi untuk memahami tindakan-tindakan mana yang dapat diterima dan tindakan mana yang tidak dapat diterima dan nilai-nilai tersebut dikomunikasikan melalui cerita dan cara-cara simbolis lainnya (McKenna,etal, op.cit P.63).

Amnuai (1989) membatasi pengertian budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota sebuah organisasi dari hasil proses belajar adaptasi terhadap permasalahan ekternal dan integrasi permasalahan internal.

Organisasi memiliki kultur melalui proses belajar, pewarisan, hasil adaptasi dan pembuktian terhadap nilai yang dianut atau diistilahkan Schein (1992) dengan considered valid yaitu nilai yang terbukti manfaatnya. selain itu juga bisa melalui sikap kepemimpinan sebagai teaching by example atau menurut Amnuai (1989) sebagai �through the leader him or herself� yaitu pendirian, sikap dan prilaku nyata bukan sekedar ucapan, pesona ataupun kharisma.

Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa budaya organisasi diartikan sebagai kristalisasi dari nilai-nilai serta merupakan kepercayaan maupun harapan bersama para anggota organisasi dalam hal ini dosen di STIMIK Bani Saleh yang diajarkan dari generasi yang satu kegenerasi yang lain dimana didalamnya ada perumusan norma yang disepakati para anggota organisasi, mempunyai asumsi, persepsi atau pandangan yang sama dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam organisasi.

Hal-hal yang mempengaruhi budaya organisasi
Menurut Piti Sithi-Amnuai bahwa : �being developed as they learn to cope with problems of external adaptation anda internal integration (Pembentukan budaya organisasi terjadi tatkala anggota organisasi belajar menghadapi masalah, baik masalah-masalah yang menyangkut perubahan eksternal maupun masalah internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan organisasi).( Opcit Ndraha, P.76).

Pembentukan budaya akademisi dalam organisasi diawali oleh para pendiri (founder) institusi melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Seseorang mempunyai gagasan untuk mendirikan organisasi.
2. Ia menggali dan mengarahkan sumber-sumber baik orang yang sepaham dan setujuan dengan dia (SDM), biaya dan teknologi.
3. Mereka meletakan dasar organisasi berupa susunan organisasi dan tata kerja.

Menurut Vijay Sathe dengan melihat asumsi dasar yang diterapkan dalam suatu organisasi yang membagi �Sharing Assumption�( loc.cit Vijay Sathe, p. 18) Sharing berarti berbagi nilai yang sama atau nilai yang sama dianut oleh sebanyak mungkin warga organisasi. Asumsi nilai yang berlaku sama ini dianggap sebagai faktor-faktor yang membentuk budaya organisasi yang dapat dibagi menjadi :
a). Share thing, misalnya pakaian seragam seperti pakaian Korpri untuk PNS, batik PGRI yang menjadi ciri khas organisasi tersebut.
b). Share saying, misalnya ungkapan-ungkapan bersayap, ungkapan slogan, pemeo seprti didunia pendidikan terdapat istilah Tut wuri handayani, Baldatun thoyibatun wa robbun ghoffur diperguruan muhammadiyah.
c). Share doing, misalnya pertemuan, kerja bakti, kegiatan sosial sebagai bentuk aktifitas rutin yang menjadi ciri khas suatu organisasi seperti istilah mapalus di Sulawesi, nguopin di Bali.
d). Share feeling, turut bela sungkawa, aniversary, ucapan selamat, acara wisuda mahasiswa dan lain sebagainya.

Sedangkan menurut pendapat dari Dr. Bennet Silalahi bahwa budaya organisasi harus diarahkan pada penciptaan nilai (Values) yang pada intinya faktor yang terkandung dalam budaya organisasi. (Silalahi,2004:8) harus mencakup faktor-faktor antara lain : Keyakinan, Nilai, Norma, Gaya, Kredo dan Keyakinan terhadap kemampuan pekerja

Untuk mewujudkan tertanamnya budaya organisasi tersebut harus didahului oleh adanya integrasi atau kesatuan pandangan barulah pendekatan manajerial (Bennet, loc.cit, p.43) bisa dilaksanakan antara lain berupa :
a) Menciptakan bahasa yang sama dan warna konsep yang muncul.
b) Menentukan batas-batas antar kelompok.
c) Distribusi wewenang dan status.
d) Mengembangkan syariat, tharekat dan ma�rifat yang mendukung norma kebersamaan.
e) Menentukan imbalan dan ganjaran
f) Menjelaskan perbedaan agama dan ideologi.

Selain share assumption dari Sathe, faktor value dan integrasi dari Bennet ada beberapa faktor pembentuk budaya organisasi lainnya dari hasil penelitian David Drennan selama sepuluh tahun telah ditemukan dua belas faktor pembentuk budaya organisasi /perusahaan/budaya kerja/budaya akdemis (Republika, 27 Juli 1994:8) yaitu :
1) Pengaruh dari pimpinan /pihak yayasan yang dominan
2) Sejarah dan tradisi organisasi yang cukup lama.
3) Teknologi, produksi dan jasa
4) Industri dan kompetisinya/ persaingan antar perguruan tinggi.
5) Pelanggan/stakehoulder akademis
6) Harapan perusahaan/organisasi
7) Sistem informasi dan kontrol
8) Peraturan dan lingkungan perusahaan
9) Prosedur dan kebijakan
10) Sistem imbalan dan pengukuran
11) Organisasi dan sumber daya
12) Tujuan, nilai dan motto.

Budaya dengan profesionalisme
Dalam perkembangan berikutnya dapat kita lihat ada keterkaitan antara budaya dengan disain organisasi atau hubungan budaya dengan keberhasilan suatu perguruan tinggi sesuai dengan design culture yang akan diterapkan. Untuk memahami disain organisasi tersebut, Harrison ( McKenna, etal, 2002: 65) membagi empat tipe budaya organisasi :

1. Budaya kekuasaan (Power culture)
Budaya ini lebih mempokuskan sejumlah kecil pimpinan menggunakan kekuasaan yang lebih banyak dalam cara memerintah. Budaya kekuasaan juga dibutuhkan dengan syarat mengikuti esepsi dan keinginan anggota suatu organisasi.

Seorang dosen, seorang guru dan seorang karyawan butuh adanya peraturan dan pemimpin yang tegas dan benar dalam menetapkan seluruh perintah dan kebijakannya. Kerena hal ini menyangkut kepercayaan dan sikap mental tegas untuk memajukan institusi organisasi. Kelajiman diinstitusi pendidikan yang masih meenganut manajemen keluarga, peranan pemilik institusi begitu dominan dalam pengendalian sebuah kebijakan institusi akademis, terkadang melupakan nilai profesionalisme yang justru hal inilah salah satu penyebab jatuh dan mundurnya sebuah perguruan tinggi.

2. Budaya peran (Role culture)
Budaya ini ada kaitannya dengan prosedur birokratis, seperti peraturan organisasi dan peran/jabatan/posisi spesifik yang jelas karena diyakini bahwa hal ini akan mengastabilkan sistem. Keyakinan dan asumsi dasar tentang kejelasan status/posisi/peranan yang jelas inilah akan mendorong terbentuknya budaya positif yang jelas akan membantu mengstabilkan suatu organisasi. Bagi seorang dosen tetap jauh lebih cepat menerima seluruh kebijakan akademis daripada dosen terbang yang hanya sewaktu-waktu hadir sesuai dengan jadwal perkuliahan. Hampir semua orang menginginkan suatu peranan dan status yang jelas dalam organisasi.

Bentuk budaya ini kalau diterapkan dalam budaya akademis dapat dilihat dari sejauhmana peran dosen dalam merancang, merencanakan dan memberikan masukan (input) terhadap pembentukan suatu nilai budaya kerja tanpa adanya birokarasi dari pihak pimpinan. Jelas masukan dari bawah lebih independen dan dapat diterima karena sudah menyangkut masalah personal dan bisa didukung oleh berbagai pihak melalui adanya perjanjian psikologis antara pimpinan dengan dosen yang dibawahnya. Budaya peran yang diberdayakan secara jelas juga akan membentuk terciptanya profesionalisme kerja seorang dosen dan rasa memiliki yang kuat terhadap peran sosialnya di kampus serta aktifitasnya diluar keegiatan akademis dan kegiatan penelitian.

3. Budaya pendukung (Support culture)
Budaya dimana didalamnya ada kelompok atau komunitas yang mendukung seseorang yang mengusahakan terjadinya integrasi dan seperangkat nilai bersama dalam organisasi tersebut. Selain budaya peran dalam menginternalisasikan suatu budaya perlu adanya budaya pendukung yang disesuaikan dengan kredo dan keyakinan anggota dibawah. Budaya pendukung telah ditentukan oleh pihak pimpinan ketika organisasi/institusi tersebut didirikan oleh pendirinya yang dituangkan dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jelas didalamnya ada keselaran antara struktur, strategi dan budaya itu sendiri. Dan suatu waktu bisa terjadi adanya perubahan dengan menanamkan budaya untuk belajar terus menerus (longlife education)

4. Budaya prestasi (Achievement culture)
Budaya yang didasarkan pada dorongan individu dalam organisasi dalam suasana yang mendorong eksepsi diri dan usaha keras untuk adanya independensi dan tekananya ada pada keberhasilan dan prestasi kerja. Budaya ini sudah berlaku dikalangan akademisi tentang independensi dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian serta dengan pemberlakuan otonomi kampus yang lebih menekankan terciptanya tenaga akademisi yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya.

Dari empat tipe budaya diatas cukup mengena dalam kaitannya dengan pengaruh budaya terhadap kinerja seorang dosen dapat dilihat dari budaya prestasi atau lebih tepat sebagai bentuk profesionalisme seorang dosen dalam perannya, dimana Handi (1985) menyebutnya dengan istilah budaya pribadi (person culture)

Istilah profesionalisme dalam dunia kependidikan bukanlah hal yang baru. Penulis beranggapan bahwa profesionalisme itulah sebagian dari apilikasi budaya organisasi secara person culture dalam hal ini dapat dilihat dari karakter dosen dalam mengaplikasikan budaya akademis yang sudah disampaikan oleh pihak institusi kampus.

Dalam rangka peningkatan culture akademis dan profesionalisme kerja perlu adanya pengelolaan dosen (Sufyarma, 2004:.183) antara lain :
a) Meningkatkan kualitas komitmen dosen terhadap pengembangan ilmu yang sejalan dengan tugas pendidikan dan pengabdian pada masyarakat.
b) Menumbuhkan budaya akademik yang kondusif untuk meningkatkan aktifitas intelektual.
c) Mengusahakan pendidikan lanjut dan program pengembangan lain yang sesuai dengan prioritas program studi.
d) Menata ulang penempatan dosen yang sesuai dengan keahlian yang dimilikinya agar profesionalisme dan efisiensi dapat ditingkatkan.
e) Melakukan pemutakhiran pengetahuan dosen secara terus menerus dan berkesinambungan.

Sehingga perguruan tinggi harus dikelola dengan professional memiliki dua faktor sebagai bentuk penerapan budaya akademis yang kuat yaitu :

1. Profesional personal.
Adapun profesional personal ini memiliki karakteristik antara lain :
a) Bangga atas pekerjaannya sebagai dosen dengan komitmen pribadi yang kuat atas kreatifitas.
b) Memiliki tanggungjawab yang besar, antisipatif dan penuh inisatif.
c) Ingin selalu mengerjakan pekerjaan dengan tuntas dan ikut terlibat dalam berbagai tugas diluar yang ditugaskan kepadanya.
d) Ingin terus belajar untuk meningkatkan kemampuan kerja dan kemampuan melayani.
e) Mendengarkan kebutuhan mahasiswa dan dapat bekerja denga baik dalam tim.
f) Dapat dipercaya, jujur, terus terang dan loyal.
g) Terbuka terhadap kritik yang bersifat konstruktif serta siap untuk meningkatkan dan menyempurnakan dirinya.

2. Professional institusional.
Adapun karakteristik profesional institusional dapat dilihat dalam karakteristik sebagai berikut :
a) Perkuliahan berjalan lancar, dinamis dan dialogis.
b) Masa studi mahasiswa tidak lama dan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan memperoleh indeks prestasi yang tinggi.
c) Minat masyarakat yang memasuki perguruan tuinggi adalah besar, karena perguruan tinggi yang bersangkutan adalah legitimate dan credible.
d) Memiliki staf pengajar yang telah lulus studi lanjut (S2 dan S3) dan
e) Aktif dalam Pertemuan ilmiah serta produktif dalam karya ilmiah.
f) Pengelolaan perguruan tinggi yang memiliki visi yang jauh kedepan, otonom, fleksible serta birokrasi yang singkat dan jelas.
g) Program perguruan tinggi, baik akademik maupun administratif harus disusun secara sistematis, sistemik dan berkelanjutan.
h) Kampus harus dibenahi secara bersih, hijau dan sejuk.
i). Alumni perguruan tinggi harus mampu bersaing secara kompetitif, baik secaranasional maupun global.

Sedangkan Mahfud MD (1998:4) antara lain menunjukan beberapa karakteristik budaya akademis yang berpengaruh terhadap profesionalisme dosen sebagai berikut :
1) Bangga atas pekerjaannya sebagai dosen dengan komitmen pribadi yang kuat dan berkualitas.
2). Memiliki tanggungjawab yang besar, antisipatif dan penuh inisiatif.
3). Ingin selalu menegrjakan pekerjaan dengan tuntas dan ikut terlibat dalam berbagai peran diluar pekerjaannya.
4) Ingin terus belajar untuk meningkatkan kemampuan kerja dan kemampuan melayani.
5). Mendengar kebutuhan pelanggan dan dapat bekerja dengan baik dalam suatu tim.
6). Dapat dipercaya, jujur, terus terang dan loyal.
7) Terbuka terhadap kritik yang bersifat konstruktif serta selalu siap untuk meningkatkan dan menyempurnakan dirinya.

Selain itu kita lihat ada lima diskursus professional ( Danim, 2003:.126-127) yang berbeda diseputar profesionalisme keguruan yaitu antara lain :

1) Profesionalisme material (Material professionalism) merujuk pada kemampuan professional guru atau tenaga pengembang lain dilihat dari prespektif penguasaan material bahan ajar yang harus ditransformasikan dikelas ataupun diluar kelas.

2) Profesionalime metodologikal (Methodological professionalism) merujuk pada penguasaan metode dan strategi serta seni mendidik dan mengajar sehingga memudahkan proses belajar mengajar.

3) Profesionalisme sosial (Social professionalism) merujuk pada kedudukan guru dan tenaga pengembang lain sebagai manusia biasa dan sebagai anggota masyarakat dengan tidak kehilangan identitas budaya sebagai pendidik oleh karena bisa diajdikan contoh dan referensi prilaku dalam kehidupan masyarakat.

4) Profesionalisme demokratis (democratic professionalism) merujuk pada tugas pokok dan fungsi yang ditampilkan oleh guru dan tenaga pengembang lainnya harus beranjak dari, oleh dan untuk peserta didiknya sehingga mencerminkan miniature demokrasi masyarakat.

5) Profesionalisme manajerial (managerial professionalism) merujuk pada kedudukan guru bukanlah orang yang secara serta merta mentransmisikan bahan ajar saja tapi juga bertindak sebagai direktur, manajer atau fasilaitastor belajar.

Karakteristik budaya organisasi.
Untuk menentukan indikator secara pasti mengenai budaya organisasi jauh lebih sulit tetapi penulis mengambil dari beberapa pendapat para ahli mengenai indikator yang menentukan budaya organisasi.

Khun Chin Sophonpanich memasukan budaya pribadi ke dalam Bank Bangkok 50 tahun yang lalu dengan beberapa indikator antara lain :
a). Ketekunan (dilligency),
b). Ketulusan (sincerity),
c). Kesabaran (patience) dan
d). Kewirausahaan (entrepreneurship).

Sedangkan Amnuai dan Schien membagi budaya organisasi kedalam beberapa indikator yaitu antara lain
a). Aspek kualitatif (basic)
b). Aspek kuantitatif (shared) dan aspek terbentuknya
c).. Aspek komponen (assumption dan beliefs),
d). Aspek adaptasi eksternal (eksternal adaptation)
e). Aspek Integrasi internal (internal integration) sebagai proses penyatuan budaya melalui asimilasi dari budaya organisasi yang masuk dan berpengaruh terhadap karakter anggota.

Selangkah lebih maju tinjauan dari Dr.Bennet Silalahi yang melihat budaya kerja dapat dilihat dari sudut teologi dan deontology (Silalahi, 2004:25-32) seperti pandangan filsafat Konfutse, etika Kristen dan prinsip agama Islam. Kita tidak memungkiri pengaruh tiga agama ini dalam percaturan peradaban dunia timur bahkan manajemen barat sudah mulai memperhitungkannya sebagai manajemen alternatif yang didifusikan ke manajemen barat setelah melihat kekuatan ekonomi Negara kuning seperti Cina, Jepang dan Korea sangat kuat. Perimbangan kekuatan ras kuning Asia yang diwakili Jepang, Korea dan Cina tentu saja tidak bisa melupakan potensi kekuatan ekonomi negara-negara Islam yang dari jumlah penduduknya cukup menjanjikan untuk menjadi pangsa pasar mereka.

Tinjauan ajaran Islam membagi budaya kerja kedalam beberapa indikator antara lain :
a) Adanya kerja keras dan kerjasama (QS. Al-Insyiqoq : 6, Al-Mulk : 15, An-Naba : 11 dan At-taubah : 105))
b) Dalam setiap pekerjaan harus unggul/professional/menjadi khalifah (An-Nahl : 93. Az-Zumar : 9, Al-An�am : 165)
c) Harus mendayagunakan hikmah ilahi (Al-Baqoroh : 13)
d) Harus jujur, tidak saling menipu, harus bekerjasama saling menguntungkan.
e) Kelemah lembutan.
f) Kebersihan
g) Tidak mengotak-kotakan diri/ukhuwah
h) Menentang permusuhan.

Sedangkan menurut ajaran konghucu budaya kerja ditinjau dari budaya Ren yang terdiri dari lima sifat mulia manusia antara lain :
a) Ren (hubungan industrial supaya mengutamakan keterbatasan, kebutuhan dan kualitas hidup manusia)
b) Yi (tipu muslihat, timbangan yang tidak benar, kualitas barang dan jasa supaya disngkirkan atau dibenarkan agar tidak merugikan para stakehoulder)
c) Li (Instruksi kerja, penilaian unjuk kerja, peranan manajemen harus dilandaskan pada kesopanan dan kesantunan)
d) Zhi (kearifan dan kebijaksanaan dituntut dalam perencanaan, pengambilan keputusan dan ketatalaksanaan kerja, khususnya dalam perencanaan strategi dan kebijakan)
e) Xing (setiap manajer dan karyawan harus saling dapat dipercaya)
Lebih jelas lagi diungkapkan oleh Desmond graves (1986:126) mencatat sepuluh item research tool (dimensi kriteria, indikator) budaya organisasi yaitu :
1. Jaminan diri (Self assurance)
2. Ketegasan dalam bersikap (Decisiveness)
3. Kemampuan dalam pengawasan (Supervisory ability)
4. Kecerdasan emosi (Intelegence)
5. Inisatif (Initiative)
6. Kebutuhan akan pencapaian prestasi (Need for achievement)
7. Kebutuhan akan aktualisasi diri (Need for self actualization)
8. Kebutuhan akan jabatan/posisi (Need for power)
9. Kebutuhan akan penghargaan (Need for reward)
10. Kebutuhan akan rasa aman (Need for security).

Penutup
Dari uraian diatas bahwa peningkatan kualitas kinerja seorang penididik bisa dilakukan dengan memperhatikan kepuasan kerja secara intensif baik kepuasan intrinsik maupun kepuasan ekstrinsik dan memperbaiki budaya organisasi yang hanya berorientasi tugas semata dengan menerapkan budaya kerja yang berorientasi kinerja, persaingan, yang di sinergiskan dengan upaya re-inveting organisasi dan pengembangan jenjang karier secara berkala atau memperbaiki budaya organisasi yang berpola paternalistik dengan budaya organisasi berpola profesionalisme.

Sehingga para pendidik memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan secara langsung kepada rekan kerja ataupun kepada pihak pimpinan mengenai hal-hal yang menjadi hambatan psikologis dan komunikasi yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan baik instrinsik maupun ekstrinsik dan pihak pimpinan senantiasa memperhatikan dan memegang teguh prinsip keadilan dan humanitas dalam pengembangan diri dimasa yang akan datang.

Agar membentuk kesadaran untuk tetap meningkatkan semangat dan budaya kerja yang inisiatif, kreatif dan penuh inovasi dan pihak pimpinan akademisi atau institusi dapat mengembangkan budaya terbuka dan dorongan terhadap seluruh aktifitas akademis yang didukung oleh adanya penghargaan, pengakuan dan bersifat reaktif dan pro-aktif terhadap permasalahan akademis maupun non-akademis yang terjadi dikalangan pendidik yang sebenarnya bisa berakibat menurunnya citra dan semangat kekeluargaan antara pendidik dengan pihak pimpinan akademisi..

Peningkatan kepuasan kerja berupa materi maupun non-materi untuk meningkatkan kesejahteraan dosen, kemudian tingkatkan budaya akademisi yang berbasis pada peningkatan penelitian, pengembangan jenjang pendidikan dosen yang diseimbangkan dengan ketegasan dan control sehingga tercipta budaya akdemisi yang kondusif. Serta Tingkatkan profesionalisme kerja dalam pemberian jenjang jabatan tanpa menghilangkan budaya kekeluargaan yang kuat dan didasari adanya control dan penghargaan serta pengakuan yang proforsional.

Referensi :
1. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta : Rineka Cipta, 2001) P. 722 Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar, (Jakarta : Grafindo, 2003), P. 174
3 Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajar, (Jakarta : Bumi Aksara, 2003), P.148.
4 Sudarwan Danim, Ibid., P.74.
5 Soerjono Soekanto, loc.cit, P. 174
6 Ibid, Soerjono Soekanto, P. 174
7 Eugene McKenna dan Nic Beec, The Essence of : Manajemen Sumber Daya Manusia,Terj. Toto Budi Santoso, (Yogjakarta : Penerbit Andi, 2002) P. 19
8 Taliziduhu Ndraha, Budaya organisasi, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003) p.123.
9 Vijay Sathe, Culture and Related corporate Realities, (Homewood : Richard D. Irwin, Inc., 1985) p. 18
10 Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadershif, (San Fransisco : Josseybass Publ, 1992) p.16.
11 Stephen P. Robbins,Organizational Theory: Structure Design and Aplication (New Jersey : Prentice Hall, Inc., 1990), P.4
12 Waren B.Brown dan Denis J. Moberg, Organization Theory and Mangement: A Macro Approach, (New York : John Wiley & Sons,1980), P. 6.
13 Amitai Etzioni, Complex Organization : A Sociological Reader, (New York : Rine Hart & Winston, 1961) P.14.
14 Umar Nimran, Kebijakan Perusahaan, (Jakarta : Karunika UT, 1996), P. 11.
15 Umar Nimran, Ibid, P.11.
16 Op.cit , Ndraha, P. 102
17 Ibid, pendapat Pithi Amnuai dari kutipan Ndraha, p.102
18 loc.cit, Schein, P.16. dapat kita lihat pendapat ini pada hal. 32 diatas.
19 Eugene McKenna & Nic Beech, op.cit P.63.
20 Opcit Pendapat Amnuai dari kutipan Ndraha, P.76.
21 loc.cit Vijay Sathe, p. 18
22 Prof. Dr. Bennet Silalahi, Corporate Culture and Performance Appraisal, (Jakarta : Al-Hambra, 2004), P. 8.
23 Bennet, loc.cit, p.43.
24 Kutipan Republika, 27 JUli 1994:8
25 Harisson R., Understanding your Organization�s Character, (Harvard Business Review, May-June1972 : 119-128). dikutif langsung (atau tidak langsung) oleh Eugene McKenna dan Nic Beec, The essence of : Mannajemen Sumber Daya Manusia,Trj. Toto Budi Santoso, (Yogjakarta : Penerbit Andi, 2002) P. 65
26 C. Handy, Understanding Organizations, (London : Penguin, 1985), dikutip langsung oleh Eugene McKenna dan Nic Beec, The Essence of : Manajemen Sumber Daya Manusia,Trj. Toto Budi Santoso, (Yogjakarta : Penerbit Andi, 2002) P. 66
27 Sufyarma, Kapita selekta : Manajemen Pendidikan, (Bandung : Alfabeta, 2004), P.183.
28 Ibid, P.128-129.
29 Mohammad Mahfud M.D., Workshop Nasional : Relevansi Peraturan Perundang-undangan dalam Menyongsong Perguruan Tinggi di Indonesia pada abad ke 21, (Yogyakarta : Kerjasama UII dan Untar, 1998), P. 4.
30 Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajaran, (Jakarta ; Bumi Aksara, 2003), p.126-127.
31 Ndraha, opcit. P.63
32 Ndraha, Ibid.63
33 Bennet Silalahi, Corporate Culture & Performance Apparaisal, (Jakarta : Al-Hambra, 2004), p.25-32
34 Bennet, Ibid, P.21
35 Desmond graves, Corporate Culture : Diagnosis and Change Auditing and Changing the Culture of Organization, (London : Frances Pinter Publishing, 1986) P.126.

Sumber : http://teknikkepemimpinan.blogspot.com

Saturday, June 9, 2012

Desain dan Struktur Organisasi

Apakah itu struktur organisasi? Struktur organisasi ialah susunan pembagian tugas secara formal yang ada dalam sebuah organisasi. Selain memiliki struktur, organisasi juga memiliki desain organisasi.

Desain organisasi ini adalah sebuah proses yang meliputi enam elemen :
- Spesialisasi kerja :
adanya pembagian kerja yang dibagi menjadi beberapa bagian.
- Pembagian departemen :
berdasarkan fungsi, produk, letak geografis, proses, dan jenis costumer
- Ada rantai komando :
sehingga banyaknya karyawan yang dibawahi harus dibatasi agar efektif dan efisien
- Sentralisasi dan Desentralisasi
Sentralisasi :
pengambilan keputusan secara terpusat pada level atas perusahaan
Desentralisasi :
pengambilan keputusan dari level bawah yang terkait langsung dengan aksi
- Formalisasi :
ada standardisasi pada setiap organisasi sehingga perilaku karyawan mengikuti aturan dan prosedur yang telah ditentukan

Biasanya keputusan-keputusan yang ada pada organisasi dipengaruhi oleh keputusan struktural :
Dan yang mempengaruhi keputusan struktural:
- Keseluruhan strategi organisasi
- Ukuran organisasi : dipengaruhi oleh besar/kecilnya sebuah organisasi
- Teknologi yang digunakan : Struktur perusahaan beradaptasi dengan teknologi yang dipakai, dan teknologi ini biasanya selalu berkembang
- Kadar ketidakpastian lingkungan : terdapat lingkungan yang stabil ada pula lingkungan yang dinamis, dan organisasi tersebut harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan disekitarnya

Kerangka dari Strategi :
- Inovasi : mengejar keuntungan kompetitif dengan inovasi yang berarti dan khas
- Meminimalisir Pengeluaran : Fokus dengan mengontrol ketat pengeluaran yang membutuhkan struktur mekanik pada organisasi
- Imitasi : meminimalkan resiko dan memaksimalkan keuntungan dengan meniru penguasa pasar yang membutuhkan organik dan mekanik elemen pada organisasi

Macam - macam Desain Organisasi :
. Desain Organisasi Tradisional

- Struktur yang simpel : departemensialisasi rendah
- Struktur yang fungsional : pembagian departemen berdasarkan fungsi
- Struktur yang divisional : terdiri dari beberapa divisi dengan terbatasnya otonomi dibawah koordinasi dan kontrol dari bagian atas perusahaan

� Desain Organisasi Kontemporer
- Tim Terstruktur : terdiri dari beberapa grup kerja dengan memberi wewenang kepada karyawan untuk memanajemen diri Sendiri
- Matriks dan Struktur Proyek : Para spesialis ditugaskan untuk mengerjakan proyek yang dipimpin oleh seorang project managers : Matrix and Project Participants mempunyai dua managers dan karyawan terus berkerja pada proyek, dan akan pindah setelah proyeknya selesai
- Organisasi tanpa batas-batas organisasi yang jelas : desain organisasi yang fleksibel dan tidak terstruktur yang cenderung untuk tidak terdapat penghalang antara organisasi dengan para pelanggan dan supplier
- Menghapus penghalang (horizontal)
- Menghapuskan batas-batas external, mendekat ke stakeholder
- Organisasi yang baik adalah organisasi yang bisa belajar, dan organisasi yang belajar adalah sebuah organisasi yang mengembangkan kapasitasnya dengan mempelajari, beradaptasi, dan berubah melalui latihan pengetahuan memanajemen oleh karyawan

Karakteristik dari Organisasi yang belajar :
- Open team based organization, dengan cara memberi kekuasaan lebih kepada karyawan
- Alur pertukaran informasi terbuka dan penyebaran informasi lancar
- Kepemimpinan yang menyebarkan visi untuk masa mendatang
- Budaya yang kuat, kepercayaan, keterbukaan, dan rasa pengertian terhadap komunitas

Sunday, April 24, 2011

Membangun Tim Yang Sukses

Sukses sebuah tim adalah juga sukses anggota tim. Namun, sukses pribadi anggota tim tidak selalu merupakan sukses bagi tim. Bahkan, tidak jarang menjadi faktor pemecah dan pembubaran ketika salah satu anggota ingin menonjol sendiri. Karena itulah membangun tim yang sukses sangat penting peranannya dalam mendorong sukses organisasi, baik itu organisasi bisnis maupun bidang yang lainnya.

Kesuksesan bisa dinilai berdasarkan hasil yang diukur secara kualitatif maupun kuantitatif. Ukuran secara kuantitatif lebih bersifat objektif, sedangkan kualitatif lebih bersifat subjektif.

Namun, untuk mengukur sebuah performance, sebaiknya dituangkan secara kuantitatif, entah itu berbentuk skor ataupun ukuran dalam jumlah tertentu, seperti dalam key performance indicator (KPI).

Pada akhirnya, ukuran kuantitatif pula yang akan menentukan apakah tim itu layak disebut tim yang baik atau unggul. Hal-hal yang berkaitan dengan layanan, contohnya, selain diukur dengan kepuasan pelanggan, juga dapat dan perlu dibuatkan skor untuk menjadi ukuran kuantitatif.

Misalnya, dalam hitungan ukuran waktu (menit, jam, hari). Ambil contoh laundry; dua toko yang berbeda, dua-dua sama rapi, bersih dan teliti, namun yang satu menawarkan satu hari siap, yang lain dua hari.

Anda bisa menentukan mana yang lebih baik. Performance bukan saja untuk mengukur hasil kerja diri kita, juga harus merupakan output. Hasil akhir dengan tolok ukur kepuasan pelanggan, yaitu orang-orang yang paling berpengaruh dan paling berhak memberikan penilaian atas kita, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Bicara tim atau lebih tepatnya teamwork bisa bermacam-macam.

Bagaimana kita dapat meningkatkan performance sebuah tim? Mari kita lihat lebih jauh. Ada faktor internal, ada faktor eksternal. Apa yang bersifat internal seharusnya dapat dikendalikan dan dimotivasi, apa yang bersifat eksternal harus bisa kita monitor dan imbangi agar kita secara tidak langsung tetap memegang kendali.

Faktor-faktor internal antara lain manusia, organisasi, produk atau layanan, peralatan, sistem termasuk penilaian dan penghargaan (award and punishment) dan budaya. Faktor eksternal seperti pelanggan, baik individu maupun institusi, pesaing, industri dan pasar, ekonomi, politik dan kebijakan pemerintah, serta undang-undang. Dari faktor internal yang paling penting dan berpengaruh adalah manusia dengan varian begitu banyak.

Pada intinya performance= kemampuan (ability) x motivasi (motivation). Kemampuan adalah keterampilan untuk melaksanakan tugas, yang merupakan bagian dari tugas tim. Adapun motivasi, menganut Abraham Maslow, hierarchy of motivation (A Theory of Motivation, 1943: Basic Physiological Needs, Safety & Security, Belonging & Love, Know How, Aesthetic danSelf-Actualization dan paling ekstrem Transcendence).

Semakin tinggi tingkat latar belakang motivasi (di mana semakin sedikit yang dapat mencapainya), maka akan semakin kuat dorongannya. Karena itu, ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan sebuah tim yang kuat.
Pertama, merekrut mereka yang mempunyai keterampilan tinggi yang mampu mengerjakan tugasnya, dan mau belajar terus untuk meningkatkan kemampuannya.

Kedua, merekrut mereka yang mempunyai latar belakang motivasi pada tingkat yang lebih tinggi. Jarang ditemukan seorang langsung mempunyai keterampilan yang prima dan dengan latar belakang motivasi pada tingkat tertinggi.
Keduanya harus diproses dan ditingkatkan dari waktu ke waktu. Semakin tinggi hasil perkalian keduanya (abilityx motivation) dalam diri seseorang, maka akan semakin baik atau tinggi performance yang dicapai.

Tentunya, faktor manusia di atas bukan satu-satunya yang menjamin performance yang tinggi�sekalipun yang paling berpengaruh. Faktor lain yang cukup penting adalah bagaimana mempertahankan atau memacu top-performing team? Sebab, ada kecenderungan apabila tidak dipertahankan, maka akan cenderung menurun. Dalam satu periode tertentu, tantangan akan dapat dicapai, bahkan dilampaui.(Galeriukm).

Monday, January 17, 2011

Sekilas Tentang Sistem Pendukung Keputusan Manajemen

Pengantar
Dalam hidup manusia akan memperoleh kebahagiaan jika didasarkan pada keselarasan dan keseimbangan hidup pribadi, dalam hubungan dengan masyarakat, bangsa, alam maupun dengan Tuhannya. Dengan demikian kekuatan manusia itu tidak hanya terletak pada fisiknya semata, juga kemampuan untuk bekerjasama dengan sesama manusia lainnya.

Dalam organisasi, jika ada tiga orang maka wajib ditunjuk satu orang sebagai pemimpin. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya mengorganisir banyak orang yang lebih dari dua, yang tentunya pula dalam satu pandangan dan tujuan untuk berbagi peran dan penghasilan. Misalnya pekerjaan itu adalah membuat bangunan maka tidak semua orang sama-sama menggergaji kayu, atau sama-sama mengaduk semen, namun harus ada yang bertugas sebagai arsitek, tukang, kuli dan lain-lain. Dari sini timbul permasalahan yang harus dijawab, apakah hanya dengan kemampuan mengorganisir kita bisa mengembangkan organisasi menjadi lembaga profitable? Atau apkah hanya dengan modal besar kita akan bisa menjadi survive?

Keorganisasian
Secara sederhana organisasi dapat diberi pengertian sebagai suatu sistem yang saling berpengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Lengkapnya dapat dinyatakan sebagai suatu kesatuan sosial dari sekelompok manusia yang saling berinteraksi menurut pola tertentu, sehingga setiap anggotanya memiliki fungsi dan tugas masing-masing, utamanya lagi kesatuan tersebut mampunyai batas-batas yang jelas sehingga dapat dipisahkan secara tegas dari lingkungannya (Lubis dan Martin,1989).



Administrasi sebagai Total System
Biasanya administrasi didefinisikan sebagai keseluruhan proses kegiatan pelaksanaan usaha bersama yang dilakukan dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya secara efektif dan efisien atau bisa juga ditambah secara ekonomis dan produktif. Dari konsep tersebut maka administrasi harus terdesain oleh kerangka dasar yakni manajemen, leadership, pengambilan keputusan, human relations, manusia dan sarana kerja (SP. Siagian, 74).

Secara khusus ilmu manajemen didefinisikan sebagai yang mempelajari bagaimana cara menapai tujuan, fungsi apa saja yang harus dilakukan dengan menggunakan alat, tenaga orang, ide, dan system secara efektif dan efisien.

Manajemen, sebagai komponen dari administrasi dapat di tinjau dari tiga segi :
� Kepemimpinan, tidak dimaksudkan melakukan sendiri kegiatan-kegiatan operasional akan tetapi menjamin orang lain mengerjakan hal-hal yang sesuai dengan kebijaksanaan, keputusan, dan pedoman yang telah diberikan. kepemimpinan mempunyai dua atribut menurut Mellit yaitu personal dan institusional, Atribut � atribut personal kepemimpinan mencakup intelegensi, keberanian, integritas kekuatan, kesiapan fisik, determinasi, ketekunan, kerja keras, kecerdikan dan bahkan terkadang kebingisan, Sedangkan atribut institusional kepemimpinan mencakup status, kekayaan, posisi, dan kolega atau teman yang mampu, kesempatan atau peluang yang khusus, suatu hubungan tertentu antara harapan atau aspirasi rakyat dengan penampilan kepemimpinan dan lain � lain. Atribut �atribut kepemimpinan, baik personal atau institusional akan sangat menentukan efektif tidaknya kepemimpinan. Dengan demikian seorang pemimpin memang di tuntut mempunyai berbagai kelebihan dari yang dipinpin, seperti keunggulan emosional, keunggulan kecerdasan, keunggulan ketrampilan, keunggulan fisik, kekayaan dan lain sebagainya.

� Pengambilan keputusan, kesuksesan seorang pemimpin bukan hanya dilihat dari banyaknya jabatan atau pangkat saja. Tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana ia memanage organisasi, bersikap dan mengambil keputusan secara cermat, cerdas, dan cepat. Analisa yang dapat digunakan dalam decition making adalah menggunakan instrument analisa SWOT (Strength/kekuatan, Weakness/kelemahan oprtunity/peluang, Treats/ancaman)

� Human Relation, hasil dari kebulatan keputusan tadi pada proses tindak lanjutnya sebaiknya berpijak pada unsur kemanusiaan dan jika digerakkan dengan tepat maka akan menjadi efisien dan jika tidak demikian maka terkadang manusia justru akan menjadi unsur perusak rencana (Destroyer of Planning).



Perencanaan, Pengorganisasian, Pengarahan, Pengendalian, dan Evaluasi
Ini merupakan sederetan fungsi-fungsi manajemen tradisional yang dibutuhkan oleh organisasi nirlaba untuk menjamin organisasi yang bersangkutan berjalan baik. Fungsi perencanaan mencakup perumusan tujuan jangka pendek dan jangka panjang organisasi, serta mengembangkan strategi untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi pengorganisasian adalah memadukan orang-orang dan tugas-tugas mereka dalam suatu struktur yang terencana, bukan semata-mata demi tugas itu sendiri, tetapi juga memuaskan kebutuhan orang-orang yang melaksanakannya. Jika organisasi tumbuh dan semakin menjadi besar, kebutuhan akan pengarahan muncul pula. Oleh sebab itu fungsi pengendalian harus diberlakukan juga. Fungsi pengawasan ini perlu untuk menjaga agar organisasi tetap berjalan pada jalurnya dan untuk mengorek kesalahan yang terjadi. Akhirnya, fungsi evaluasi dibutuhkan untuk menentukan tercapai atau tidaknya tujuan organisasi.

Dari kaca mata manajemen ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan :
Pertama, Aspek Sumber Daya Manusia merupakan aset penting yang dimiliki oleh suatu organisasi, sehingga sisi manajerial merupakan konsekuensi lebih jauh dalam mencapai efektifitas organisasi.

Kedua, Aspek legal formal, kebijakan dan prosedur yang harus ditempuh dalam mencapai tujuan institusional.

Ketiga, Kultur; tata nilai yang melatar belakangi perilaku manajerial sesuatu institusi dalam mencapai tujuannya yang dilingkungan perusahaan dikenal dengan istilah Corporate Culture.

Keempat, Integrasi; Yang memungkinkan timbulnya kebersamaan dalam lingkungan sumberdaya manusia dalam suatu organisasi, sehingga sangat potensial dalam mencapai tujuan organisasi. (Michael Armstrong, 1998)

Di dalam manajemen dibutuhkan beberapa persyaratan :
1. harus ada tujuan/platform
2. harus ada masyarakat/anggota
3. harus ada manager/leader
4. harus ada kerjasama/corporate
5. harus ada system/mekanisme kerja yang kongkrit.

Persoalannya kemudian adalah sejauh mana sistem yang ada diorganisasi kita mampu menciptakan suasana kondusif bagi perkembangan potensi prospektif organisasi.

Thursday, December 16, 2010

Memahami Perilaku Organisasri

Perilaku organisasi merupakan sebuah studi yang menyelidiki pengaruh yang dimiliki oleh individu, kelompok, dan struktur terhadap perilaku dalam organisasi yang bertujuan menerapkan ilmu pengetahuan semacam ini guna meningkatkan keefektifan suatu organisasi.

Perilaku organisasi adalah sebuah bidang studi, berarti bahwa PO adalah sebuah bidang keahlian khusus yang mempunyai pokok ilmu pengetahuan yang umum. PO mengajarkan tiga factor penentu perilaku dalam organisasi meliputi : Individu, Kelompok dan Struktur.

Dalam penelitian dikenal dengan variabel dependen dan independent. Begitu juga dengan PO. Variabel dependen adalah factor utama yang ingin dijelaskan atau diprediksikan dan dipengaruhi oleh factor-faktor lain. Beberapa variabel dependen dalam PO meliputi : produktivitas, absensi, turnover, dan kepuasan kerja. Lalu ditambahkan dua variabel lain yaitu perilaku menyimpang di tempat kerja dan perilaku kewarganegaraan organisasional (organizational citizenship behavior).

Produktivitas.
Suatu organisasi dikatakan produktif bila mencapai tujuan-tujuannya dan melakukannya dengan cara mengubah masukan menjadi hasil dengan biaya serendah mugkin. Menurut Bernardin dan Russke (1993), produktivitas dapat diartikan sebagai tingkat perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (input). John Suprihanto (1994:19) mendefinisikan produktivitas sebagai perbandingan hasil-hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumber daya yang dipergunakan atau perbandingan jumlah produksi (output) dengan sumber daya yang dipergunakan (input).

Beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas antara lain :
1. Individual. Faktor ini datang dari dalam diri si pekerja dan sudah ada sebelum ia mulai bekerja. Faktor diri tersebut antara lain : karakteristik biografi, kepribadian dan emosi, nilai-nilai dan sikap, persepsi, motivasi, pembelajaran individual, dan kemampuan.
2. Kelompok. Faktor ini merupakan faktor level kelompok seperti komunikasi, konflik, kekuatan dan politik, tim kerja, struktur kelompok, kepemimpinan dan kepercayaan, dan pembuatan keputusan kelompok.
3. Organisasi. Faktor ini datang dari luar si pekerja dan hampir sepenuhnya dapat diatur dan diubah oleh pimpinan perusahaan sehingga disebut juga faktor-faktor manajemen, yang antara lain : (a) Faktor sosial dan keorganisasian seperti karakteristik perusahan, pendidikan dan latihan, pengawasan, pengupahan dan lingkungan sosial. (b) Faktor fisik antara lain mesin, peralatan, material, lingkungan kerja, metode kerja.

Mangkir
Absenteeism didefinisikan sebagai ketidakhadiran di kantor tanpa izin. Mangkir merupakan kerugian dan gangguan yang sangat besar bagi pemberi kerja. Tingginya angka ketidakhadiran merugikan perusahaan karena perusahaan tetap mengeluarkan uang untuk membayar gaji pegawai, tetapi di sisi lain pegawai tidak memberikan kontribusi apapun pada saat absen. Dengan demikian, semakin banyak waktu absen yang diambil seorang pegawai, maka semakin berkurang produktivitas kerjanya.

Beberapa penyebab absenteeism menurut Streers dan Rhodes adalah :
1. Situasi kerja seperti wilayah pekerjaan, level pekerjaan, penekanan terhadap kelompok, norma kelompok kerja, gaya pemimpin, hubungan antar karyawan, dan kesempatan untuk maju.
2. Nilai-nilai karyawan dan harapan kerja
3. Karakteristik personal meliputi pendidikan, pengalaman, umur, sex dan family size
4. Kepuasan pada situasi kerja
5. Tekanan untuk hadir meliputi kondisi ekonomi dan pasar, sistem insentif, norma kelompok kerja, etika kerja personal dan komitmen organisasi.
6. Motivasi kehadiran
7. Kemampuan untuk hadir meliputi sakit dan kecelakaan, tanggung jawab keluarga, dan problem transportasi.
8. Kehadiran karyawan.

Delapan faktor ini merupakan sebuah model konseptual yang didasarkan pada 104 studi tentang ketidakhadiran (Steers dan Rhodes, 1978; dalam Usmara, 2003:51).
Lihat : Handbook of Organizations, Kajian dan Teori Organisasi, editor Usmara, Penerbit Amara Books, Yogyakarta.

Turnover
Perputaran karyawan adalah pengunduran diri secara permanen secara sukarela maupun tidak sukarela dari suatu organisasi. Menurut Mueller (2003: hal 2-5), ada beberapa aspek yang bisa dipakai sebagi prediktor dari turnover. Yakni:
# Alternatif �alternatif yang ada di luar organisasi (External alternatives.). Dikarenakan adanya kecenderungan karyawan untuk meninggalkan organisasi di saat mereka memiliki tempat yang menjadi tujuan, maka literatur lebih menekankan pada persepsi mengenai alternatif eksternal sebagai prediktor dari turnover organisasional.
# Alternatif-alternatif yang ada di dalam organisasi (Internal alternatives). Menurut Cable dan Turban (2001) dalam Mueller (2003:hal 2-3) bagi banyak karyawan, minat dan ketertarikan pada pekerjaan tidak hanya semata didasarkan pada posisi yang tersedia namun juga konteks organisasi secara keseluruhan. Salah satu konteks organisasional yang penting tersedianya adalah alternatif di dalam organisasi tersebut. Ketersediaan dan kualitas pekerjaan yang bisa diacapai dalam organisasi bisa digunakan sebagai indeks utilitas dari turnover disamping persepsi terhadap alternatif eksternal. Karyawan tidak akan melakukan turnover dari organisasi jika ia merasa bahwa ia bisa atau mempunyai kesempatan untuk pindah (internal transfer) ke pekerjaan lain, di organisasi yang sama yang dianggapnya lebih baik.
# Harga /nilai dari perubahan kerja ( Cost of job change) Individu meninggalkan organisasi seringkali dikarenakan tersedianya alternatif-alternatif yang mendorong mereka untuk keluar dari organisasi. Namun ada faktor lain yang membuat individu memilih untuk tetap bertahan, yakni faktor keterikatan (Embeddedness. Individu yang merasa terikat dengan organisasi cenderung untuk tetap bertahan di organisasi. Keterikatan menunjukkan pada kesulitan yang dihadap oleh individu untuk berpindah / mengubah pekerjaan, meski ia mengetahui adanya alternatif yang lebih baik di luar. Salah satu faktor yang meningkatkan harga dari turnover adalah asuransi kesehatan dan benefit-benefit yang didapat dari organisasi (misal pensiun dan bonus-bonus). Hubungan finansial ini juga berkaitan erat dengan komitmen kontinuans (continuance commitment), yaitu kesadaran karyawan bahwa turnover membutuhkan biaya (Meyer & Allen, 1997) dalam Mueller (2003: hal 4-5)
# Kejadian-kejadian kritis (Critical Events). Menurut Beachs (1990) dalam Mueller (2003:10-13), kebanyakan orang jarang memutuskan apakah mereka tetap bertahan di pekerjaan yang ada ataupun tidak, dan tetap mempertahankan pekerjaan yang sama sebagai fungsi dari suatu pilihan dibanding suatu kebiasaan. Kejadian-kejadian kritis, memberikan kejutan yang cukup kuat bagi sistem kognitif individu untuk menilai ulang kembali situasi yang dihadapi dan melakukan tindakan nyata. Contoh dari kejadian-kejadian kritis diantaranya adalah perkawinan, perceraian, sakit atau kematian dari pasangan, kelahiran anak, kejadian yang berkaitan dengan pekerjaan seperti diabaikan dalam hal promosi, menerima tawaran yang lebih menjanjikan atau mendengar tentang kesempatan kerja yang lain. Semua kejadan-kejadian tersebut bisa meningkatkan atau menurunkan kecenderungan seseorang untuk turnover, karena setiap kejadian bisa disikapi secara berbeda antara individu yang satu dengan yang lain.

Tercakup di dalam kejadian-kejadian kritis adalah :

1. Kejadian yang berulang (continuation events)
2. Kejadian yang bersifat netral (neutral events)
3. Kejadian yang tidak berulang (discontinuation events)

Perilaku Kewargaan Organisasi (Organizational Citizenship Behavior)
Merupakan perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif. Organizational Citizenship Behavior (OCB) ini juga sering diartikan sebagai perilaku yang melebihi kewajiban formal (ekstra role) yang tidak berhubungan dengan kompensasi langsung. Artinya, seseorang yang memiliki OCB tinggi tidak akan dibayar dalam bentuk uang atau bonus tertentu, namun OCB lebih kepada perilaku sosial dari masing-masing individu untuk bekerja melebihi apa yang diharapkan, seperti membantu rekan di saat jam istirahat dengan sukarela adalah salah satu contohnya.

Kedudukan OCB sebagai salah satu bentuk perilaku extra-role, telah menarik perhatian dan perdebatan panjang di kalangan praktisi organisasi, peneliti maupun akademisi. Podsakoff (2000) mencatat lebih dari 150 artikel yang diterbitkan di jurnal-jurnal ilmiah dalam kurun waktu 1997 hingga 1998. Namun demikian, penelitian di lapangan masih meninggalkan beberapa permasalahan krusial yang menuntut penanganan yang lebih intensif dan menyeluruh.

Beberapa faktor yang mempengaruhi OCB antara lain (Organ, 1995; Sloat, 1999) :

1. Budaya dan iklim organisasi
2. Kepribadian dan suasana hati
3. Persepsi terhadap dukungan organisasional
4. Persepsi terhadap kualitas hubungan/interaksi atasan bawahan
5. Masa kerja, dan
6. Jenis Kelamin

Sedangkan Spector (1997, dalam Robbins, 2003:105) menambahkan kepuasan terhadap kualitas kehidupan kerja sebagai penentu utama dari perilaku kewarganegaraan yang baik dari seorang karyawan (organizational citizenship behavior-OCB).

Catatan Pribadi : saya sendiri menganggap OCB lebih dipengaruhi oleh kepribadian atau lebih tepatnya kecerdasan emosi. Dibandingkan faktor2 situasional dan kondisi kerja di atas atau dapat dijadikan mediator atau perantara dari faktor-faktor di atas. Karena berdasarkan pengalaman kerja saya selama ini, dapat dilihat bahwa banyak karyawan yang puas dengan kondisi dan situasi kerja namun tetap tidak memiliki perilaku ekstra seperti ini. Orang-orang yang memiliki OCB tinggi ini umumnya supel dan ramah, perilaku nya tidak didorong oleh embel-embel duit, sukarela dan iklas membantu.

Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)
Kepuasan kerja merupakan penerimaan positif atas kondisi dan situasi kerja.. Tidak seperti variabel sebelumnya, kepuasan kerja lebih menggambarkan sikap daripada perilaku. Dijadikannya kepuasan sebagai variabell dependen yang utama didasarkan pada berbagai penelitian yang memeperlihatkan hubungan kepuasan kerja dengan banyak faktor lain oleh peneliti PO.

Keyakinan bahwa karyawan yang merasa puas lebih produktif bila dibandingkan dengan karyawan yang tidak puas telah menjadi prinsip dasar di antara para manager selama bertahun-tahun, meski pun akhir-kahir ini terdapat keraguan tentang hubungan antara kepuasan � kinerja.

Penelitian yang mendukung berhasil dikumpulkan dari 2.500 unit bisnis yang menemukan bahwa unit yang mendapat nilai di atas 25 persen dalam survey opini karyawan adalah mencapai rata-rata 4,6% di atas anggaran penjualan mereka untuk tahun tersebut. Sementara mereka yang mendapat nilai dibawah 25 persen adalah 0,8 di bawah anggaran. Artinya, memang terdapat perbedaan yang signifikan dilihat dari kinerja berdasarkan kepuasan kerja.

Namun sebuah model yang dikembangkan oleh Lawyer justru sebaliknya. Dengan mengadopsi teori pengharapan, Lawyer menyusun sebuah model dengan urutan : Motivasi � Usaha / Kemampuan � Kinerja � Hasil kerja � Kepuasan. Atau dapat dinyatakan bahwa :
# Pertama, kekuatan motivasi seseorang untuk berkinerja baik secara langsung nampak dari usahanya (seberapa keras ia bekerja). Usaha yang dihasilkan ini bisa saja menghasilkan kinerja yang bagus tepai bisa juga tidak, karena sekurang-kurangnya dua faktor harus benar jika usaha (effort) harus dikonversikan menjadi kinerja. Pertama, orang tersebut harus memiliki kemampuan yang dibutuhkan agar mampu bekerja dengan baik. Jika kemampuan dan usaha yang tidak tinggi maka tidak akan menghasilkan kinerja yang baik. Faktor kedua adalah persepsi orang tersebut tentang bagaimana usahanya dikonversikan dengan sebaik-baiknya menjadi kinerja. Di asumsikan bahwa persepsi ini dipelajari oleh individu dari pengalaman sebelumnya pada situasi yang sama. Persepsi �bagaimana melakukannya� ini jelas bisa lebar sekali variannya, dan kalau muncul persepsi salah maka kinerja bisa saja rendah meskipun usaha dan motivasi tinggi.
# Kedua, ketika terjadi kinerja, individu memperoleh sejumlah hadil dari kerja. Hasil kerja ekstrinsik yang bisa saja tidak diterima oleh individu
# Ketiga, sebagai akibat dari diperolehnya hasil kerja dan persepsi yenyang nilai rata-rata hasil kerja, individu memiliki respon efektif positif atau negatif (kepuasan atau ketidakpuasan)
# Keempat, model ini menunjukkan peristiwa yang terjadi mempengaruhi perilaku organisasi dengan mengubah persepsi E � P,P � O, dan V. Proses ini digambarkan dalam garis putar umpan balik dan kemudian kembali ke motivasi.

Sumber :
Handbook of Organizations, Kajian dan Teori Organisasi, editor Usmara, Penerbit Amara Books, Yogyakarta.
Kreitner dan Kinicki. 2005. Perilaku Organisasi, Buku 1 & 2. Salemba Empat, Jakarta.
Robbins dan Judge. 2008. Perilaku Organisasi, Buku 1, Cet. 12. Salemba Empat, Jakarta.
Mueller ,John Dwight Kammeyer. 2003. Turnover Processes in a Temporal Context:It�s About Time.

Friday, November 5, 2010

Manajemen Dasar Dan Teknik Pengawasan

A. Pengantar
Banyak kasus disuatu organisasi tidak dapat terlesesaikan seluruhnya karena tidak ditepatinya waktu penyelesaian (Deadline) anggaran yang berlebihan, dan kegiatan lain yang menyimpang dari rencana semula.

B. Definisi Pengawasan
Menurut Robert J. Mockler pengawasan yaitu usaha sistematik menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar, menentukan dan mengukur deviasi-deviasai dan mengambil tindakan koreksi yang menjamin bahwa semua sumber daya yang dimiliki telah dipergunakan dengan efektif dan efisien.

C. Bentuk-bentuk Pengawasan
1. Pengawasan Pendahulu (feeforward control, steering controls)
Dirancang untuk mengantisipasi penyimpangan standar dan memungkinkan koreksi dibuat sebelum kegiatan terselesaikan. Pengawasan ini akan efektif bila manajer dapat menemukan informasi yang akurat dan tepat waktu tentang perubahan yang terjadi atau perkembangan tujuan.
2. Pengawasan Concurrent (concurrent control)
Yaitu pengawasan �Ya-Tidak�, dimana suatu aspek dari prosedur harus memenuhi syarat yang ditentukan sebelum kegiatan dilakukan guna menjamin ketepatan pelaksanaan kegiatan.
3. Pengawasan Umpan Balik (feedback control, past-action controls)
Yaitu mengukur hasil suatu kegiatan yang telah dilaksanakan, guna mengukur penyimpangan yang mungkin terjadi atau tidak sesuai dengan standar.

D. Tahap Proses Pengawasan
1. Tahap Penetapan Standar
Tujuannya adalah sebagai sasaran, kuota, dan target pelaksanaan kegiatan yang digunakan sebagai patokan dalam pengambilan keputusan. Bentuk standar yang umum yaitu :
a. standar phisik
b. standar moneter
c. standar waktu
2. Tahap Penentuan Pengukuran Pelaksanaan Kegiatan
Digunakan sebagai dasar atas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan secara tepat
3. Tahap Pengukuran Pelaksanaan Kegiatan
Beberapa proses yang berulang-ulang dan kontinue, yang berupa atas, pengamatan, laporan, metode, pengujian, dan sampel.
4. Tahap Pembandingan Pelaksanaan dengan Standar dan Analisa Penyimpangan
Digunakan untuk mengetahui penyebab terjadinya penyimpangan dan menganalisanya mengapa bisa terjadi demikian, juga digunakan sebagai alat pengambilan keputusan bagai manajer.
5. Tahap Pengambilan Tindakan Koreksi
Bila diketahui dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan, dimana perlu ada perbaikan dalam pelaksanaan.

E. Perancangan Proses Pengawasan
William H. Newman menetapkan prosedur sistem pengawasan, dimana dikemukakan lima jenis pendekatan, yaitu :
1. Merumuskan hasil diinginkan, yang dihubungkan dengan individu yang melaksanakan.
2. Menetapkan petunjuk, dengan tujuan untuk mengatasi dan memperbaiki penyimpangan sebelum kegiatan diselesaikan, yaitu dengan :
a. pengukuran input
b. hasil pada tahap awal
c. gejala yang dihadapi
d. kondisi perubahan yang diasumsikan
3. Menetapkan standar petunjuk dan hasil, dihubungkan dengan kondisi yang dihadapi.
4. Menetapkan jaringan informasi dan umpan balik, dimana komunikasi pengawasan didasarkan pada prinsip manajemen by exception yaitu atasan diberi informasi bila terjadi penyimpangan dari standar.
5. Menilai informasi dan mengambil tindakan koreksi, bila perlu suatu tindakan diganti.

F. Management By Exception (MBE)
MBE atau prinsip pengecualian, dengan titik perhatian pada pengawasan yang paling kritis dan mempersilahkan karyawan atau manajemen tingkat rendah untuk membuat variasinya. Ini digunakan untuk operasi-operasi yang bersifat otomatis dan rutin.

G. Manajemen Informasi System (MIS)
Ini memainkan peranan penting dalam pengawasan dan perencanaan yang efektif. Pengertian MIS yaitu suatu metoda informal pengadaan dan penyediaan bagi manajemen, informasi yang diperlukan dengan akurat dan tepat waktu untuk membuat proses pembuatan keputusan dan memungkinkan fungsi-fungsi perencanaan, pengawasan dan operasional organisasi yang dilaksanakan secara efektif.

Tahap perancangan dari MIS yaitu :
1. survai pendahuluan dan perumusan masalah
2. desain konsepsual
3. desain terperinci
4. implementasi akhir

Agar MIS berjalan efektif maka harus memenuhi lima kriteria, yaitu :
1. Mengikut sertakan pemakai dalam tim perancangan
2. Mempertimbangkan secara hati-hati biaya sistem
3. Memperlakukan informasi yang relevan dan terseleksi
4. Adanya pengujian pendahuluan
5. Menyediakan latihan dan dokumentasi tertulis bagi para operator da pemakai sistem.

Kriteria utama MIS efektif yaitu :
1. pengawasan terhadap kegiatan yang benar
2. tepat waktu dalam pemakaiannya
3. menekan biaya secara efektif
4. sistem yang digunakan harus tepat dan akurat
5. dapat diterima oleh yang bersangkutan

Tags

Aksesori Blog (3) Analisa Bisnis (4) Bisnis Hobi (10) Bisnis Jasa (7) Bisnis Kerajinan (12) Bisnis Kosmetik (1) Bisnis Makanan (13) Bisnis Money Game (1) Bisnis online (10) Bisnis Retail (6) Bisnis Rumahan (5) Bisnis Sampingan (7) Bisnis Sektor Agro (6) Bisnis sektor Ternak (1) Bisnis Souvenir (6) Bisnis Waralaba (6) Cara Sukses Bisnis (6) Character building (9) Definisi Pemasaran (3) Domain and Hosting (6) Efektivitas Pemasaran (4) Entrepreneurship (9) Etika Bisnis (6) Etos Kerja (9) Ide Bisnis (4) Inspirasi Bisnis (5) Internet Marketing (8) Jiwa Wirausaha (10) Kebutuhan Manusia (4) Kegagalan Usaha (4) Kepemimpinan (9) Kesalahan Pemasaran (4) Kiat Bisnis (2) Kiat Pemasaran (4) Kiat sukses (8) Kiat sukses Wirausaha (5) Kisah Sukses Wirausaha (8) Komunikasi Pemasaran (5) Konsep Pemasaran (5) Kreativitas Bisnis (4) Kunci Sukses Bisnis (6) Manajemen Bisnis (7) Manajemen Kepemimpinan (1) Manajemen Keuangan (6) Manajemen Konflik (7) Manajemen Mutu (6) Manajemen Mutu DikTi (1) Manajemen Organisasi (6) Manajemen pemasaran (6) Manajemen Pengawasan (7) Manajemen Risiko (6) Manajemen SDM (7) Manajemen Strategi (4) Media Pemasaran (5) Model Bisnis (6) Monetizing Site (8) Motivasi Bisnis (6) Motivasi Diri (1) Panduan blog (6) Panduan Wirausaha (1) Peluang Bisnis (3) Peluang Usaha (7) Peluang Usaha Agro (4) Peluang Usaha Hobi (5) Peluang Usaha Jasa (5) Peluang Usaha Kerajinan (4) Peluang Usaha Kuliner (8) Peluang Usaha Salon (3) Percaya diri (9) Perencanaan Bisnis (9) Perencanaan Pemasaran (8) Perilaku Konsumen (5) Persaingan Bisnis (4) Produktivitas Kerja (5) Rahasia Sukses (4) Ranking Blog (6) Risiko Bisnis (5) Sistem Pemasaran (4) Strategi Bisnis (9) Strategi Pemasaran (12) Studi Kelayakan Bisnis (4) Tingkatkan produktivitas (5) Tips Bisnis (11) Tips Memulai Wirausaha (5) Tips Pemasaran (5)