Tiba-tiba, HP bekedip-kedip di meja di atas meja, selarik nama yang sangat aku kenal tapi jarang menyapa, mendadak hadir. Ya, seorang kawan lama pas kuliah di kota gudeg menyapa. Setelah berbasa-basi, �Eh, aku ada di Jakarta sekarang, di pelabuhan sedang menurunkan ikan, ngobrol sebentar yuk?� Sebuah tawaran langka seorang kawan lama, yang �tidak sopan� untuk ditolak. Akhirnya ditemani hembusan angin pantai, kita mengobrol santai sambil melihat pemandangan �turunnya� ikan dari kapal. Mendadak saya kagum melihat �pemandangan� di sore itu.
Melihat fenomena jarang dilihat, setidaknya buat saya, menyadarkan betapa banyak orang yang bisa �dihidupi� dari lautan kita yang maha luas. Disamping para nelayan itu sendiri yang jumlahnya puluhan, ada beberapa sopir mobil pengangkut ikan yang mengangkut ikan-ikan tersebut ke pabrik pemrosesan ikan di dekat dermaga. Belum lagi para kuli panggul, penjual dadakan yang mengerumuni para nelayan yang turun sauh. Kesannya tidak beraturan, bau anyir menusuk, tapi sungguh ada sebuah tetesan kebeningan distribusi yang menetes pada saudara-saudara kita tersebut. Pada raut wajah mereka, terbaca sebersit asa untuk kehidupan keluarganya di kampung. Kata teman saya, para nelayan yang menjadi kru kapal adalah orang-orang tangguh yang terbiasa hidup berminggu-minggu di kapal menemani badai dan angin.
Ada rasa kagum menyelinap di hati akan kegigihan kawan saya menerjuni bidang ini. Secara materi dia cukup mapan, di sisi lain bisnis yang digelutinya itu menyejahterakan saudara-saudara kita yang masih berkubang didera kemiskinan. �Terkadang miris juga Don, tidak banyak orang kita menekuni bidang ini�, sesalnya. Tidak hanya di tingkatan nelayan seperti teman saya itu, di bagian memprosesan ikan pun bahkan banyak perusahaan dikuasai perusahaan patungan asing Hong Kong, Taiwan. �Dua pertiga Negara kita adalah air� kata ibu guru IPS saya dulu di sebuah SD di kota kecil, terngiang-ngiang jelas aksentuasinya. Tapi yang memanfaatkan secara maksimal pernyataan itu, ternyata bukan dari anak negeri yang dikenal subur loh jinawi ini. Tapi orang lain. Cukup menyesakkan dada pembicaraan singkat di tepi dermaga di sore hari.
Sementara itu, Mbak pengasuh di rumah juga sedang mengeluhkan �mahalnya� cabe yang mengakibatkan pedasnya teman makan yang merupakan kategori wajib mendadak tereduksi. Di beberapa warung dan restoran pun yang biasanya sambal melimpah ruah mendadak tampil minimalis. Barangkali fenomena anomali ini bakal menjadi tertawaan banyak orang, di sebuah Negara nan subur dan mengaku sebagai Negara agraris �kedodoran� mengurusi sebuah komoditi warisan yang merupakan tradisi turun temurun.
Sepertinya sudah saatnya kita menyadari sungguh-sungguh serta fokus terhadap kekuatan dasar yang kita miliki, tapi kita lupakan. Kita ikut-ikutan mencebur sebuah industri yang barangkali dipandang �wah� oleh orang-orang di belahan dunia lain, tetapi agak asing diterapkan oleh kebanyakan orang yang hidup dan tinggal di Republik ini. Sehingga menyebabkan kita sendiri kehilangan �kendali� terhadap suatu produk yang notabene merupakan �soul� kita. Pernah saya tulis di Blog ini,seorang petani �hijrah� ke kota, menjual lahannya untuk dilego sebuah motor dan beralih menjadi tukang ojek, karena hasil pertanian yang diandalkan, gagap menghidupi keluarganya. Kasihan�.
Sebuah Institut Pertanian berwibawa yang didirikan dengan susah payah, dan untuk masuknya menjadi mahasiswa juga super susah pula menjadi mandul, bukan karena mahasiswa-nya bego, tapi strategi blue print sektor agro dan perikanan kurang digarap secara serius, jadi anak tiri. Tak heran dengan sebuah lelucon lama, seorang kolega alumni yang kebetulan lulusan institut pertanian itu berseloroh IPB itu singkatan Institut Perbankan Bogor, karena lebih banyak jebolannya bekerja di perbankan ketimbang mengurusi sektor agro.
Teknologi yang dibangun di negeri ini sepertinya tidak ramah terhadap bidang yang sesungguhnya merupakan strength yang kita punyai. Jangan malu untuk merubah haluan (turn around), tidak ada kata terlambat. Saatnya untuk mengaca kemampuan bisnis yang akan menopang kita bersaing lebih laju. Terima kasih atas undangannya ke dermaga Kawan Teguh, Terima kasih atas keluhannya tentang mahalnya cabe dari Mbak. Ada yang salah dan harus didekonstruksi dari strategi bisnis agro kita, sebelum �tersesat� lebih jauh. Fokuslah terhadap kekuatan kita merupkan salah satu basis memenangkan bisnis�..�If you lose your focus, you will lose your business� kata Jack Trout.
Sumber : http://manuverbisnis.wordpress.com/2011/01/06/ikan-cabe-dan-strategi-bisnis-agro/
Ikan, Cabe dan Strategi Bisnis Agro
Ginting Mergana
0
Comments
Tags
Bisnis Sektor Agro
Post a Comment